Peningkatan Jumlah Pemukiman Kumuh serta Menurunnya Kualitas Kesehatan Penduduk Sebagai Akibat dari Kepadatan Penduduk

Bumi merupakan satu-satunya tempat bagi manusia untuk hidup dan berkehidupan bersama jutaan manusia lainnya, bayangkan jika bumi yang memiliki luas 510 juta km2 dihuni oleh manusia dengan jumlah yang berlebihan (over population) tentu akan menimbulkan berbagai masalah yang harus segera diselesaikan. Awal mulanya bumi hanya memiliki satu penghuni, yaitu Adam sebagai manusia pertama sekaligus menjadi penduduk pertama di muka bumi sekitar 2 juta tahun yang lalu. Ketika nabi Isa lahir, penduduk dunia sudah mencapai kira-kira 250 juta. Di tahun tahun berikutnya hingga 1970-an jumlah penduduk dunia semakin meningkat pesat yaitu mencapai 4 miliar, hal ini terjadi seiring dengan majunya teknologi kedokteran yang mendukung untuk menurunkan tingkat kematian namun di sisi lain tidak menurunkan tingkat kelahiran yang tinggi serta adanya keterbatasan lahan dan sumber daya alam.
            Setiap orang membutuhkan tidak hanya makanan,tetapi juga energi serta sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya, jika populasi penduduk dan sumber daya yang tersedia berada pada kondisi seimbang maka kesejahteraan manusia di muka bumi akan tercapai. Faktanya luas permukaan bumi tidak akan pernah meningkat dan kemampuan bumi untuk memperbarui sumber daya tidak secepat peningkatan jumlah penduduk, semakin lama bumi semakin sesak dijejali manusia dan permintaan sumber daya untuk pemenuhan kehidupan. Berdasarkan indikator pembangunan dunia berdasarkan data Bank Dunia menunjukkan sampai tahun 2010 penduduk dunia mencapai 6,841 miliar. Bayangkan seberapa banyak sumber daya alam yang harus dieksploitasi, jumlah pangan, lahan untuk pemukiman dan pertanian demi pemenuhan kebutuhan hidup penduduk di dunia.
            Perkembangan jumlah penduduk di Indonesia tentu saja sangat penting untuk kita cermati, data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 di tahun 2010 berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010. Hal ini membuat Indonesia menempatkan dirinya di posisi ke-4 sebagai negara yang memiliki penduduk terbanyak di dunia. Sejak tahun 1971 sampai 1980 penduduk Indonesia meningkat sebesar 2,31%, 10 tahun berikutnya penduduk Indonesia mengalami peningkatan 1,98%, selanjutnya tahun 1990 sampai 2000 peningkatannya hanya sebesar 1,49%. Meskipun peningkatan penduduk dari tahun 1971 sampai tahun 2000 menurun,nyatanya permasalahan penduduk di Indonesia masih merupakan masalah yang belum terselesaikan sampai tuntas. Peningkatan jumlah penduduk menimbulkan beberapa masalah beberapa diantaranya adalah meningkatnya jumlah  pemukiman kumuh sebagai akibat ketidaktersediaannya lahan untuk dijadikan tempat tinggal yang layak dan meningkatnya ancaman polutan sebagai dampak terkurasnya sumber daya alam secara terus-menerus. Hal tersebut tentu saja dapat menyebabkan kualitas kesehatan penduduk menjadi rendah.
            Sebenarnya penduduk dalam suatu negara merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan negara itu sendiri sebagai pelaksana sekaligus objek dari pembangunan. Namun apabila jumlahnya terlampau banyak dan di sisi lain kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) itu sendiri tidak memadai untuk menjadi pelaksana pembangunan, maka hal ini akan menjadi masalah karena penduduk hanya menjadi objek pembangunan bukan pelaksana. Sehingga negara harus bekerja lebih untuk menanggung kehidupan dari penduduknya agar setidaknya dapat merasakan kehidupan yang layak. Namun faktanya masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Kepadatan penduduk yang terjadi di Indonesia mengakibatkan terbatasnya lahan untuk tempat tinggal sehingga hal ini memaksa masyarakat untuk membentuk suatu pemukiman kumuh. Tentu saja kondisi ini menyebabkan sulitnya penduduk untuk memperoleh fasilitas kehidupan yang layak.
            Berdasarkan data susenas dalam statistik potensi desa tahun 2008, terdapat 75.410 desa yang memiliki pemukiman kumuh yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan rata-rata jumlah rumah kumuh di setiap desa sebanyak 5,8 rumah. Provinsi DKI Jakarta menenempatkan dirinya sebagai provinsi yang memiliki presentase lokasi kumuh tiap desa terbanyak di Indonesia, disusul oleh Provinsi Jawa Barat dan Banten yang dimana kedua provinsi ini merupakan provinsi yang berdekatan dan termasuk kawasan metropolitan bersama dengan Jakarta. Lokasi paling padat penduduk di Jakarta adalah di Kecamatan Johar Baru, Kecamatan Tambora, dan Kecamatan Cilincing. Kepadatan penduduk di Johar Baru mencapai 48.952 jiwa per kilometer persegi, di Tambora 43.789 jiwa per kilometer persegi, dan di Kecamatan Cilincing 9.355 jiwa per kilometer persegi.    
            Ini tidak terlepas dari status kota Jakarta sebagai Ibukota Negara yang menjadi daya tarik tersendiri untuk para pendatang, karena peningkatan penduduk di perkotaan biasanya diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk kumuh. Di kecamatan terpadat,yaitu Johar baru, kepadatan penduduk tercermin dari banyaknya rumah-rumah petak bertingkat yang memenuhi sisi-sisi jalan, selain itu rumah berukuran 4x6 meter bisa dihuni lebih dari 10 orang. Kondisi serupa juga terjadi di Kecamatan Tambora, Kelurahan Jembatan Besi. Saking padatnya, di lokasi ini terdapat gang yang tak terkena sinar matahari karena tertutup bangunan di atasnya. Rumah yang sempit ini membuat sebagian pemilik tidak melengkapi rumah dengan toilet yang memadai. Toilet yang disediakan hanya dapat digunakan untuk mandi, buang air kecil, dan mencuci. Sementara untuk buang air besar dilakukan di WC umum yang ada di lingkungan sekitar. Itu hanya sebagian kecil gambaran yang terjadi di wilayah Ibukota,daerah lain yang sulit dijangkau keadaannya mungkin lebih mengenaskan.
            Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa Indonesia adalah  negara yang penduduknya menggunakan WC terbuka terbanyak kedua di dunia, lebih dari seperempat penduduk Indonesia membuang tinja di sungai dan tanah. Hal itu mengakibatkan air sungai di perkotaan setiap hari dicemari ribuan ton tinja dan urin yang tentunya membahayakan kesehatan. Menurut Dr.Budi Haryanto, dari Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, penyebab utama diare adalah tinja manusia karena itu harus diupayakan agar tinja ini jangan sampai mengontaminasi media lain yang bisa masuk ke tubuh manusia, seperti air minum. Air minum layak adalah air leding eceran/meteran, air hujan, dan pompa/sumur terlindung/mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja minimal 10 m. Hasil sensus penduduk 2010 menunjukkan bahwa hanya 44,19% rumah tangga yang ada di Indonesia memiliki akses terhadap sumber air minum layak. Ini artinya bahwa masih ada 63,81% rumah tangga yang belum memiliki akses terhadap sumber air minum yang layak. Dengan tingkat kepadatan yang semakin meningkat tentu saja kemungkinan rumah tangga untuk memperoleh sumber air minum yang jarak dengan penampungan kotoran sejauh 10 m akan lebih sulit tercapai. Padahal penggunaan air minum yang tidak layak, seperti air yang tercemar limbah, logam berat atau bakteri akan mengakibatkan berbagai penyakit seperti diare, demam tifus, paratipus, hepatitis, iritasi lambung, kolera, bahkan hingga anemia.
            Sanitasi yang layak merupakan syarat mutlak dalam kehidupan sehari-hari untuk tercapainya kesejahteraan, terutama sanitasi yang layak di lingkungan rumah. Menurut konsep dan definisi BPS rumah yang dianggap memiliki sanitasi layak adalah rumah yang memiliki :
·         Fasilitas tempat buang air besar sendiri atau bersama
·         Jenis kloset leher angsa
·         Tempat pembuangan akhir tinja dengan menggunakan tangki/SPAL
Tahun 2010 presentase rumah tangga dengan sanitasi layak sebesar 55,53%, ini menunjukkan bahwa masih ada kurang dari setengah penduduk Indonesia hidup di lingkungan dengan sanitasi yang tidak layak. Hal ini membuat sejumlah daerah di Indonesia menjadi daerah endemik berbagai penyakit, salah satunya demam berdarah dengue (DBD). Menurut data kementrian kesehatan, sebanyak 70% kabupaten atau kota di Indonesia merupakan daerah endemik DBD. Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan Rita Kusriastuti mengungkapkan hingga Mei 2011 tercatat ada sekitar 30.000 kasus DBD dan Indonesia merupakan penyumbang sekitar 15 persen kasus DBD dunia.
            Berbagai dampak yang terjadi ini bukan hanya semata kekurangseriusan pemerintah dalam menghadapi permasalahan kepadatan penduduk. Jika hal ini disadari secara bersama-sama oleh masyarakat tentunya dampak yang terjadi dapat diminimalisir. Berbagai prilaku buruk dari masyarakat semakin memperparah keadaan. Kebanyakan penduduk yang tinggal di daerah bantaran kali membuang limbah secara langsung ke badan air sehingga semakin meningkatkan pencemaran air dan lingkungan. Dalam Jurnal Nasional edisi Juni 2011, Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak mengatakan, 11 sungai utama di Indonesia tercemar amonium. Laporan Economic Impact of Sanitation in Indonesia memperkirakan, biaya pemulihan pencemaran air mencapai Rp13,3 triliun per tahun, hampir sama dengan APBN sanitasi untuk lima tahun.
            Sebenarnya pemukiman kumuh serta penurunan kualitas hidup hanya sebagian kecil dampak yang ditimbulkan dari permasalahan kepadatan penduduk. Masih ada masalah kekurangan lahan pangan, kekurangan produksi pangan, pencemaran lingkungan, kriminalitas dan berbagai dampak lainnya. Sejauh ini realisasi pemerintah dalam menangani permasalahan serta dampak yang terjadi tercermin dalam upaya pemenuhan tujuan MDG’s di Indonesia yang dicakup dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2004-2009 dan 2010-2014), Rencana Kerja Program Tahunan (RKP), serta dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam laporan pencapaian MDG poin ke-7 (memastikan kelestarian lingkungan hidup) oleh BAPPENAS disebutkan bahwa proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi 44,19 persen pada tahun 2010. Sementara itu, proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi layak meningkat dari 24,81 persen (1993) menjadi 55,53 persen (2009). Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan menurun dari 20,75 persen pada tahun 1993 menjadi 12,12 persen pada tahun 2009.
            Perlu adanya dukungan untuk perluasan pelayanan sosial di daerah tertinggal dan daerah terpencil serta penyelesaian masalah di daerah perkotaan, hal ini selain agar terpenuhinya kesejahteraan yang merata di Indonesia juga dapat mengurangi kecenderungan masyarakat desa untuk melakukan urbanisasi. Terkait dengan menjamurnya pemukiman kumuh di Indonesia tentulah peningkatan penyediaan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah  sangat diharapkan terlaksana baik berupa hunian yang layak dan terjangkau melalui fasilitas likuiditas, kredit mikro perumahan yang ringan dan mudah dan tabungan perumahan nasional, maupun pembangunan rusun yang sehat. Dengan peningkatan kualitas lingkungan pemukiman melalui penyediaan prasarana, sarana dan fasilitas umum dalam rangka mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
            Dalam hal aksesbilitas rumah tangga terhadap sumber air minum yang layak perlu dilakukan peningkatan cakupan pelayanan air minum melalui pembangunan dan perbaikan sistem air baku, perbaikan dan pengembangan instalasi, transmisi dan distribusi air bersih terutama di kawasan perkotaan, serta pengembangan sistem penyediaan air minum berbasis masyarakat di perdesaan yang dilaksanakan secara lintas sektor yang terfokus pelayanan bagi masyarakat miskin.
            Mengenai masalah akses penduduk terhadap sanitasi layak perlu dilakukan peningkatan investasi pengelolaan sistem air limbah secara terpusat terutama untuk penduduk miskin. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), melalui komunikasi, informasi dan edukasi yang tepat. Meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan sanitasi yang layak melalui penyusunan business plan dan pendayagunaan kapasitas sumber daya manusia, baik yang dilakukan oleh institusi maupun masyarakat berupa penyediaan MCK umum yang bersih. Sudah seharusnya generasi muda tidak hanya mencibir pekerjaan yang dilakukan pemerintah, melainkan turut peduli dan memberikan kontribusi nyata terhadap permasalahan yang terjadi di tanah air, sehingga nantinya keseluruhan tujuan MDG’s di Indonesia dapat tercapai pada tahun 2015 dengan berkurangnya kepadatan penduduk serta terpenuhinya kualitas hidup yang layak untuk seluruh rakyat Indonesia.

Tapi bukan berarti,



Aku mencintai Indonesia, 
tapi bukan berarti aku tidak menggunakan bahasa selain Indonesia.
Aku mencintai Indonesia,
tapi bukan berarti aku tidak menyanyikan lagu selain Garuda di Dadaku
Aku mencintai Indonesia,
tapi bukan berarti aku tidak memakai pakaian selain Batik
Aku mencintai Indonesia,
tapi bukan berarti aku tidak pergi ke pulau selain Komodo
Aku mencintai Indonesia,
tapi bukan berarti aku tidak menyukai warna selain Merah Putih
Aku mencintai Indonesia,
tapi bukan berarti aku tidak memainkan alat musik selain Angklung,
Aku mencintai Indonesia,
tapi bukan berarti aku tidak menarikan tari selain Pendet,
Aku mencintai Indonesia,
tapi bukan berarti aku tidak memainkan boneka selain Unyil.

tidak, bukan begitu.
Aku mencintai Indonesia, utuh, dengan caraku sendiri.